Migrasi
orang-orang Jepang ke Asia Tenggara dimulai pada awal zaman Meiji, dan jumlah
orang Jepang meningkat dari 2.800 pada tahun 1907, tahun pertama yang ada
datanya, menjadi 19.900 pada tahun 1917, dan menjadi 36.600 pada tahun 1936.
Memang jumlah mereka itu kecil, lebih kecil daripada populasi orang Eropa yang
sedikit di Asia Tenggara. Namun orang Jepang membentuk komunitas yang cukup
besar di pusat-pusat perkotaan,seperti di Singapura, Batavia (Jakarta),
Surabaya dan Manila.
Tetapi, sebelum
Perang Dunia I komunitas Jepang di pusat kota-kota besar seperti Singapura,
Batavia (Jakarta), dan Surabaya tetap dilandasi prostitusi dan situasi itu
mulai sedikit berubah pada akhir tahun 1910-an. Mereka yang sampai saat itu
kehidupannya menggantungkan diri pada para pelacur yang menangkap kesempatan
itu, mulai membuka toko bahan makanan di kota-kota dan pedesaan, yang mulai
berpindah ke pekerjaan yang lebih baik.
Penjaja Jepang,
penjudi, dan tukang taruhan yang banyak di area prostitusi yang mengenal daerah
itu mendapat tempat yang baik untuk bermukim disitu dan membuka toko kecil-kecilan,
membawa masuk barang-barang Jepang dengan mendapat kredit dari pemilik toko
Jepang di kota-kota pelabuhan, dan menjualnya kepada orang-orang pribumi.
Semenjak barang-barang Jepang laku keras, pemilik toko besar berpindah ke
bidang bisnis ekspor-impor. Transformasi orang Jepang paling tampak jelas di
Jawa dan Malaya-Inggris. Perusahaan
pelayaran pertama yang datang ke Asia Tenggara adalah Nippon Yusen (dengan
modal Mitsubishi) yang telah mengoperasikan jalur pelayaran Kobe-Manila sejak
tahun 1892 dan rute Bombay sejak tahun 1894.
Selama Perang
Dunia I, perusahaan-perusahaan Jepang dan juga dan juga individu Jepang mulai
menanamkan uang di dalam mengembangkan perkebunan. Pada masa resesi pasca
Perang Dunia I,banyak pekebun mandiri bangkrut dan terserap ke dalam perkebunan
besar yang dimiliki oleh zaibatsu
yang berpangkalan di Jepang, yang mendominasi perkebunan karet yang dimiliki
oleh orang Jepang pada tahun 1920-an dalam arti daerah yang disewakan dan
diusahakan, juga jumlah produksinya.
Ekspansi Jepang di
Asia Tenggara pada akhir 1910-an dan awal 1920-an menarik perhatian Departemen
Luar Negeri Amerika Serikat, dan kita dapat memperoleh gambaran yang menarik
mengenai kepentingan Jepang di Jawa Timur dan Jawa Tengah pada tahun 1924 dari
laporan konsul Amerika di Surabaya, Rollin R.Winslow, yang laporanyya dikirim
ke Washington. Menurut laporan ini, populasi orang Jepang adalah 627 di
Surabaya, 135 di Karesidenan Pasuruan, dan 23 orang di Malang, dan praktis di
semua distrik jumlah orang Jepang berada
di urutan kedua setelah orang Belanda (orang asing).
Terdapat dua
buah bank Jepang di Surabaya, yaitu Bank of Taiwan, yang memiliki cabang di
Batavia, Semarang dan juga Surabaya sendiri, dan Yokohama Specie Bank. Kedua
Bank ini didirikan karena ada perdagangan gula dengan Jepang. Tumbuh pesatnya
bank yang ada di Nusantara yang dimotori orang-orang Jepang berdampak pada ekspor-impor.
Barang-barang dari kapas, korek api, teh, mainan, dan keramik adalah ekspor
utama Jepang. Sementara gula, minyak tanah, timah, kinine, kerang, dan kayu
oboni merupakan barang-barang penting yang diimpor oleh Negara Jepang.
Jaringan
perdagangan Jepang sedang berkembang,meluas dari Jepang sampai ke perdagangan
eceran di pedesaan Jawa pada awal tahun 1920-an dan kimin, orang-orang yang ditelantarkan oleh negara yang terbawa arus
ke Jawa sebagai pemilik toko kecil-kecil, penjaja obat-obatan, penjudi kelana
dan tuakang taruhan, tukang foto, tukang cukur dan sebagainya itu sekarang
terintegrasi menjadi jaringan orang Jepang yang meluas.
Era baru ini
juga melihat munculnya zaibatsu kecil dari antara orang Jepang di Asia
Tenggara: Ishihara Sangyo, didirikan oleh Hiroichiro Ishihara dan dua orang
saudaranya, yang mendirikan kerajaan bisnisnya di Malaya-Inggris, akhirnya
berhasil membangun kehadirannya di Jepang. Alasan kedatangannya ke
Malaya-Inggris mula-mula tidak jauh berbeda dengan alasannya ketika datang ke
Nusantara. Di sana mereka mulai ikut campur masalah perusahaan karet dan bijih
besi. Keberhasilannya sudah jelas karena kenyataan bahwa perusahaan-perusahaan
tersebut berkecimpung dalam bijih besi, salah satu komoditas yang paling
strategis pada zaman baja dan besi,dan bahwa Yawata Iron Works, salah satu
perusahaan negara yang paling berkuasa, pada saat iti mencari pemasok bijih
besi yang stabil, karena pasoka dari China tampaknya terancam oleh tidak
stabilnya politik di China dan bangkitnya nasionalisme China.
Tidak
mengherankan bahwa yang menandai permulaan keberhasilan ini adalah
pembentukan konsulat Jepang di kota-kota
besar di Asia Tenggara. Dimanapun konsulat itu dibuka,salah satu dari tugas
pertamanya adalah mengadakan cacah jiwa penduduk Jepang di daerah konsulatnya
sendiri. Data yang dikumpulkan konsulat pada awalnya tidak memperhatikan jenis
kelamin, umur,status perkawinan, suku, agama atau keterikatan politik
orang-orang Jepang itu. Kemudian pada tahun 1920, sensul nasional pertama
dilakukan di Jepang dan sistem nasional modern klasifikasi populasi negara itu
secara hukum disusun.
Pandangan resmi
orang Jepang hanyalah tidak suka melihat perbedaan kelas. Pada tahun 1914
konsul Jepang menekan pemerintah Straits Settlements untuk mendeportasikan
germo Jepang sebanyak mungkin. Tidak diragukan lagi salah satu alasan penting
adalah bahwa pekerjaan lain yang lebih terhormat dapat diperoleh oleh para
pemilik bordil ini, dan banyak diantara mereka itu sebenarnya telah pindah ke
arah itu,bahkan sebelum adanya penghapusan resmi prostitusi Jepang. Alasan lain
adalah bahwa mereka yakin sebagai bangsa kelas satu, dan mereka tidak dapat
mengabaikan kenyataan bahwa cap "aib
nasional"yang dilemparkan pada mereka oleh negara Jepang, dan
kampanye untuk menghapuskan prostitusi Jepang menempatkan mereka ke dalam
posisi makin menjadi orang buangan di dalam komunitas Jepang.
Kampanye yang berhasil
mengenai penghapusan prostitusi Jepang dengan tegas menandai dibukanya zaman
baru sebagai orang Jepang yang terhormat di koloni Asia Tenggara. Sedikit demi
sedikit perekonomian pun pindah ke jalur perdagangan materi. Dan mereka mulai
bisa berdagang dengan orang pribumi, walaupun masih banyak diantaranya yang
tidak mau melakukan tawar-menawar dengan pribumi. Alasanya mungkin karena
tawar-menawar dengan mereka akan menempatkan orang-orang Jepang ini setara dengan orang-orang pribumi, dengan
demikian akan menurunkan derajat mereka.
Rasa sebagai
orang terhormat yang baru pada orang-orang Jepang setempat diungkapkan dalam
berbagai cara, diantaranya berusaha seperti orang Eropa, menghina orang Cina
dan pribumi, menonjolkan keberhasilan dan kekayaannya pada orang senegara, pada
gilirannya dimanipulasi dan dimobilisasi oleh konsulat Jepang untuk mengawasi
dan membimbing orang Jepang di Asia Tenggara dan komunitasnya
Jepang juga
mulai mendirikan Perhimpunan Jepang pada tahun 1915, setahun setelah konsulat
dengan sungguh-sungguh mulai kampanye penghapusan prostitusi Jepang. Tujuan
perhimpunan itu adalah untuk menggalang rasa persaudaraan sesama orang Jepang.
Tetapi peranan yang lebih penting dimainkan oleh perhimpunan Jepang adalah
mendirikan dan mengurus sekolah Jepang. Mereka di Asia Tenggara untuk mencari
penghidupan, tetapi mereka berharap anak-anaknya akan kembali ke Jepang dan
menjadi orang terhormat daripada orang tua mereka. Mereka melihat kunci
keberhasilan anak-anak ada pada sekolah.
Sekolah pertama
didirikan di Singapura pada tahun 1911, di Davao pada tahun 1924, di Surabaya
pada tahun 1925, dan di Batavia pada tahun 1928. Pada akhir tahun 1910-an dan
1920-an, orang Jepang di Asia Tenggara menjadi terhormat didalam kategori
sensusnya, didalam kedudukan sosial-ekonominya, dan didalam perilakunya, dan
mereka makin meningkat di dalam orbit negara Jepang. Berbeda dengan orang Cina
yang belum meningkatkan taraf hidup mereka seperti halnya orang Jepang.
Sehingga sudah menjadi wacana di masyarakat bahwa orang Jepang lebih mapan
hidupnya daripada orang Cina. Penyebab kesuksesan Jepang antara lain bahwa
kenyataanya negara Cina, baik pada masa dinasti Ch'ing maupun Republik Cina,
tetap lemah dan tidak menjadi kekuatan imperialis, sebaliknya malah menjadi
mangsa empuk bagi permainan imperialis di Asia Tenggara, orang Cina di Asia
Tenggara tidak dapat mengharapkan perlindungan dan perbaikan kedudukan dari
negaranya, sedangkan orang Jepang memperolehnya.
Dalam hal
kecintaan tanah air pun Jepang lebih baik daripada Cina. Nasionalisme Cina
adalah nasionalisme kerakyatan yang banyak terlepas dari negara Cina, sementara
nasionalisme Jepang dengan tegas adalah nasionalisme resmi dengan kaitan, baik
dalam pikiran maupun kenyataan, antara negara Jepang dan kebangsaan Jepang yang
tertanam dengan erat dan kokoh.
Akhir tahun
1920-an, perkonomian Jepang dan Asia
Tenggara terpukul keras oleh terpaan Depresi Dunia. Perusahaan Jepang men-dumping produknya di pasaran Asia
Tenggara, dan berakibat persengketaan dagang antara Jepang dan penguasa
kolonial Asia Tenggara.
Dan pada awal
1941, pemerintah Hindia-Belanda akhirnya membekukan aset Jepang di wilayah
koloni. Dengan demikian sebenarnya semua orang Jepang di Asia Tenggara sudah
berakhir dengan kembali ke Jepang, bukan karena mereka orang Jepang di Asia
Tenggara yang tidak nyata mengakar pada ke dalam masyarakat kolonial seperti
halnya Cina, melainkan karena nasib mereka terjalin dan tidak dapat dipisahkan
dengan nasib negara Jepang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar